Rabu, 05 Maret 2008

Tinjauan Singkat Terhadap Profesionalisme Guru Fisika


TINJAUAN SINGKAT TERHADAP PROFESIONALISME GURU FISIKA
Dra. Damriani
SMAN 3 Bandar Lampung
Jl. Khairil Anwar 30 Durian Payung, Tanjung Karang Pusat,
Bandar Lampung , Lampung 35116
Telp. 0721-255600 Fax. 0721-253287

Profesionalisme guru banyak disoroti saat ini, mungkin hal ini terkait dengan adanya sertifikasi guru. Menurut Grandt, guru yang profesional dituntut untuk memiliki lima hal.

1. Guru mempunmyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru hádala lepada kepentingan siswanya.
2. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya lepada para siswa. Bagi guru, ini meruapkan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai dari pengamatan dlam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya. Untuk belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya bagi proses belajar siswa.
5. Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya kalau di kita, PGRI dan organisasi profesi lainnya, misalnya, untuk guru fisika dapat bergabung dengan Asosiasi Guru Fisika Indonesia (http://www.agfipusat.com/).

Ciri-ciri di atas menurut Dedi Supriadi sangat sedrhana dan pragmatis sehingga mudah dicapai dan dinilai dengan kriteria yang terukur.
Dalam kiatannya dengan proses globasisasi yang efeknya sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan, Winarno Surakhmad menekankan perlunya guru memperhatikan karakteristik peralihan paradigma, dari paradigma lama ke paradigma baru, dari tingkat profesionalisme yang rendah ke profesionalisme yang tinggi, yaitu:
1. Peralihan paradigma dari yang terlalu berorientasi ke masa lalu ke paradigma yang berorientasi ke masa depan. Guru dengan karakteristik profesional yang demikian, akan mengajar dengan lebih banyak menggunakan bahasa harapan masa depan, dan bukan bahasa nostalgia masa lalu.
2. Peralihan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Guru dengan orientasi profesional demikian, akan merangsang anak di- diknya untuk mencari jawaban, untuk meneliti masalah, dan mengembangkan sendiri berbagai informasi baru. Dia tidak secara dogmatis atau indoktriner memaksakan informasi usang yang sudah tidak berharga apa-apa di dalam kehidupan anak didik.
3. Peralihan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis, guru dengan tingkat profesionalisme yang tinggi antara lain, adalah guru yang mampu menghidupkan alam dan kehidupan demokrasi di dalam situasi mengajar dan belajar sebagai sebuah cara hidup. Tanpa kewaspadaan guru, sangat mudah proses itu menjadi feodalistik dan paternalistik. Guru adalah lambang democracy in action, bukan democracy in words.
4. Peralihan paradigma pendidikan yang terpusat di satu tangan ke seragam, menjadi paradigma pendidikan yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan anak didik. Di sini, guru bertanggung jawab, lebih masalah sebelumnya, sebagai pengelola proses belajar dan mengajar. Profesionalisme guru yang tinggi, akan menciptakan kemandirian lembaga.
Bagaimana dengan profesionalisme guru fisika? Berikut ini adalah pendapat dari dua fisikawan Indonesia, yaitu Prof. Parangtopo Soetokoesoemo, Ph.D (alm), ketua Himpunan Fisika Indonesia (1988 - 1997) dan Prof. Dr. Masno Ginting, ketua Himpunan Fisika Indonesia (1997 - …).

Menurut Parangtopo, guru fisika yang bersikap baik (professional?) adalah guru yang mempunyai persyaratan:
1. Menguasai materi pelajaran dengan baik.
2. Mampu menyampaikan materi dengan baik.
3. Bertindak lugas dan tut wuri handayani.
4. Terbuka terhadap berbagai pertanyaan.
5. Siap membantu murid dalam menyelesaikan masalahnya dan menjunjung tinggi disiplin.

Sedangkan menurut Masno Ginting, guru fisika harus mampu melakukan hal-hal:
1. Memperkenalkan aplikasi fisika dalam ilmu-ilmu lain, seperti: biophysics, medical physics, surface physics,engineering, electronics, material science, dan sebagainya.
2. Melakukan lomba kreativitas guru (LKG-LIPI):guru yang kreativitasnya tinggi sangat diperlukan untuk memotivasi para siswa dalam meminati fisika dan guru yang berhasil menjadi juara dalam LKG (kreativitas guru untuk memanfaatkan fisika dalam pendidikan) maka akan muncul rasa percaya diri pada siswa yang didiknya.
3. Mengikuti pelatihan terhadap guru fisika: banyak para pendidik terutama yang tinmggal di daerah (kecamatan) yang hanya pernah belajar teori saat mengikuti pendidikan, dan langsung bekerja sebagai tenaga pendidik; sebagai contoh: bagaimana seorang guru menjelaskan prinsip kerja sebuah sel surya kepada anak didiknya, sedangkan guru tersebut belum pernah memegang sel surya?
4. Membangkitkan semangat kompetisi nasional/internasional pada siswa:
Tingkat SMU
§ Asean Physics Olympiad (APhO)
§ International Physics Olympiad (IPhO)
§ International Young Physicist Tournament (IYPT)
Tingkat SMP
§ International Junior Science Olympiad (IJSO)
Tingkat Semua Umur
§ World Year Physics Symposium (WYP)
§ Science CAMP
§ Young Inventor (LIPI)

What should current & future physics teachers do?
1. Must be Professional:
§ Honest in giving decisions (grading, praising, etc)
§ High Teaching Spirit
§ Creative in Teaching
§ Always Ready and willing to Help (other teachers & Students)
2. Mencintai professinya sebagai guru fisika:
§ Selalu gembira
§ Ramah kepada setiap orang
§ Akrab dengan siswa
3. Senantiasa terus menerus meningkatkan kompetensinya dalam ilmu fisika dan pengetahuan umum misalnya: bahasa Inggris, komputer/internet.
4. Hidup dari profesinya.

Physics is interesting if physics teachers are professional and have interesting personality. Bravo physics and physics teachers!


Acuan:

Dedi Supriyadi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Grandt, R. 1993.”What Do You Mean ‘Professional’?” Educational Leadership. No. 6, 50, March.

Masno Ginting, Guru Fisika Masa Depan. Seminar Asosiasi Guru Fisika Indonesia (AGFI), 2007, Jakarta.

Parangtopo, 1999. Berpikir Jernih, Membangun Fondasi Ilmu dan Teknologi. Yakarta: PT Elex Media Kompuitindo.

Winarno Surakhmad. Pendidikan Yang Bukan: Reformasi Dari Dalam, Seminar dan Lokakarya Pendidikan Islam, 17-19 Juni 2000, Jakarta


Bandar Lampung, 29 Oktober 2007

Tujuh Tanda Sekolah Unggul

TUJUH TANDA SEKOLAH UNGGUL




Zainal Abidin, S.Pd
SMAN 3 Bandar Lampung
www.geocities.com/zai_abidin69/mypage.html
zai_abidin69@yahoo.co.id


Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.Sedikitnya ada empat tradisi yang membatu selama ini: (1) orang tua menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua percaya bahwa program IPA lebih bergengsi daripada program IPS bagi anak mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4) masyarakat percaya bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status sosial.Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat kosa kata yang maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya. Dalam literatur internasional semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstrationschool, experiment school, atau accelerated school, dan sekolah-sekolah pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa kekhasan pada masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah effective school atau sekolah unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Sekolah unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pembeda (tanda-tanda) berikut.Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, "SMA berbasis komputer", "SD berbasis kelas kecil", "SMP berbasis IST (information system technology)," "SMK bersistem asrama," "Aliyah dengan pengantar tiga bahasa," dan sebagainya.Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya "membangun siswa yang kreatif dan disiplin," dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yangmesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul. Membangun komitmen bersama adalah langkah awal dan penting untuk memulai proses menuju sekolah unggul.Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “sentral” sekolah. Kepala sekolah adalah "pemimpin dari pemimpin" bukan "pemimpin dari pengikut." Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilakukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampilmenggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara timdalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah,(3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yangefisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggotamasyarakat lain demi pembelajaran siswa.Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semuaguru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun "kepercayaan" dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua.Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah.Dalam era globalisasi dan pesatnya informasi tetapi juga dalam keterpurukan multidimensi, khususnya ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh tanda di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia yang unggul di tanah air. Semoga!


Wiyono, Pesawaran, 28 Oktober 2007pukul: 1: 29

Kotak Pesan